Senin, 25 April 2016

Tulisan 1_SS_AHDE


Character Building

Membangun karakter atau yang lebih popular dengan istilah Character Building, merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Istilah ini biasanya banyak dijual di kursus-kursus kepribadian, bahkan diobral di seminar-seminar yang bertajuk pengembangan diri, entah itu dalam bentuk implementatif maupun hanya sekedar teori. Oleh karenanya wajar apabila kemudian timbul pertanyaan dari pembaca yang budiman: “Membangun karakter? Apa, sih? Cape, deh!

Sebagaimana yang telah kita pahami bersama, pengertian karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, seperti tabiat, watak, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian dari membangun adalah proses pengolahan dan pembentukan suatu unsur atau materi yang sudah ada menjadi sesuatu yang baru dan berbeda. Dari kedua pengertian tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa membangun karakter adalah suatu proses pembentukan watak atau budi pekerti. Tentunya dalam pengertian yang positif, tujuan dari pembentukan watak atau budi pekerti disini adalah menjadi lebih baik dan terpuji dalam kapasitasnya sebagai pribadi yang mempunyai akal budi dan jiwa.
Pertanyaan berikutnya: So what gitu, lho? Apa hubungannya dengan kita-kita yang ada di Pengadilan Pajak? Adakah dia bisa membuat kita lebih cantik atau ganteng, kelihatan lebih seksi dan awet muda? Jawabannya adalah ya! Why not? Apabila hal tersebut kita kaitkan dengan inner beauty atau inner handsome , tentu pribadi yang baik dan jiwa yang sehat akan memancarkan aura yang positif yangbisa membuat kita kelihatan lebih cantik atau tampan, seksi, dan awet muda.
Dalam perspektif yang lebih luas, hal tersebut dapat kita korelasikan dengan harapan dan usaha kita untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik. Sebagaimana kita mahfum, gaji dan tunjangan yang kita terima setiap bulannya, sebagian besar bersumber dari pajak yang dipungut oleh Negara dari rakyat, dan hal itu bisa diartikan bahwa sejatinya kita ini adalah pegawainya rakyat, maka sebagai pegawai rakyat, kita wajib untuk bekerja seoptimal mungkin untuk rakyat. Paradigma bahwa Pegawai Negeri adalah Penguasa (The Lord) yang bisa bersikap seenaknya dan sewenang-wenang kepada rakyat, semestinya diubah menjadi Pegawai Negeri yang berkarakter (terpuji), yaitu Pegawai Negeri yang mendefinisikan dan memosisikan diri sebagai Pelayan Rakyat (Public Servant).
Lalu pertanyaannya sekarang : How? Dengan cara apa kita bisa membangun karakter yang terpuji itu? Jawabannya adalah banyak cara untuk itu, baik melalui pendidikan formal dan informal, maupun melalui aktualisasi diri. Salah satu cara yang telah diupayakan Sub Bagian Kepegawaian/Sumber Daya Manusia di Pengadilan Pajak adalah melalui pendidikan informal, yaitu training ESQ. Fenomena training ESQ beberapa waktu yang lalu bisa kita ibaratkan sebagai oase di padang yang tandus. Meski efek positifnya hanya terasa kurang-lebih seminggu, namun hal tersebut memberikan secercah harapan bahwa sesungguhnya kita masih mempunyai hasrat untuk introspeksi diri demi menjadi pribadi yang lebih baik, bertanggung jawab, baik kepada diri sendiri, negara, bangsa, dan tentunya kepada Tuhan Yang Mahaesa. Betapa meruginya kita, apabila penyesalan dan linangan air mata yang tumpah-ruah pada saat itu, menjadi sia-sia hanya karena kita mengulangi lagi perbuatan buruk yang telah kita sesali.
Adapun pendidikan formal sebagai salah satu instrumen dalam membangun karakter adalah dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan formal secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pengembangan karakter individu seseorang. Pola pikir seorang Doktor dan Master yang sudah terbiasa menganalisa suatu obyek atau pokok permasalahan secara lebih mendalam dan mendetail, semestinya akan berbeda dengan seorang Sarjana Strata Satu yang dididik dengan teori-teori dan aplikasinya yang masih bersifat umum.
Upaya membangun karakter melalui aktualisasi diri, bisa kita lakukan dengan ikut aktif dalam berbagai kegiatan, baik di lingkungan tempat kerja maupun masyarakat. Aktulisasi diri di lingkungan masyarakat bisa dilakukan dengan aktif di kegiatan dengan lingkup yang kecil seperti RT, RW, atau aktif di lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, seperti LSM, atau di lembaga-lembaga keagamaan, seperti forum pengajian atau persekutuan gereja. Sedangkan aktualisasi diri di lingkungan tempat kerja kita di Pengadilan Pajak, bisa dilakukan dengan ikut aktif di pengadaan, maupun di berbagai kegiatan PIU, seperti CMCAS, Transformasi SDM, dan Survei Kepuasan Stakeholder.
Akhirnya, selain instrumen-instrumen yang sudah dijabarkan di atas, ada satu hal yang sangat prinsip dan merupakan kata kunci ataumain point, yakni keinginan untuk berubah menjadi lebih baik sesungguhnya berpulang pada moral choice (keputusan moral) pada masing-masing individu itu sendiri. Pendidikan formal, training ESQ, aktualisasi diri, atau kegiatan apapun yang sejenis, hanyalah media atau instrumen belaka. Semuanya akan menjadi tidak berarti, apabila di dalam diri individu yang bersangkutan tidak ada keinginan yang kuat (spirit) untuk berubah.

Sumber:


Analisis:
Dari artikel mengenai Character Building diatas dapat diketahui bahwa sekarang ini sudah banyak orsng-orang atau instansi-instansi yang membahas tentang Character Building. Pada dasarnya watak atau kepribadian seseorang berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain, cara membangun karakternya juga berbeda-beda. Dalam perbedaan itulah biasanya ada individu yang berbuat semaunya sendiri, maka di bentuklah proses Character Building agar setiap individu dapat membentuk watak dan budi pekerti yang lebih baik dari sebelumnya. Cara yang ditempuh misalnya bisa dilakukan dengan ESQ. Memang dengan ESQ efek yang positifnya hanya terasa kurang lebih 1 minggu, tetapi hal itu bagus daripada tidak dilakukan cara sama sekali. Pada dasarnya semua cara-cara yang ditempuh bisa berhasil jika ada niat dan usaha dari para individunya sendiri yang menjalankannya, jika niat tak ada dan menjalankan cara tersebut dengan berat hati percuma saja karena tidak akan memberikan efek apa-apa dan terkesan hanya membuat-buang waktu. 

Sabtu, 23 April 2016

Tugas 1_SS_AHDE

Hak Paten


Hak paten merupakan bentuk perlindungan hak kekayaan intelektual yang sangat efektif karena dapat mencegah pelaksanaan invensi oleh pihak lain tanpa seizing pemegang hak paten, walaupun pihak lain tersebut memperoleh teknologinya secara mandiri (bukan meniru). Menurut UU Hak Paten No. 14 Tahun 2001 (UU Hak Paten 2001), hak paten diberikan untuk invensi yang memenuhi syarat kebaruan, mengandung langkah inventif dan dapat diharapkan dalam industri selama 20 tahun.
Ada 2 asas yang dianut untuk mendapatkan hak paten:
  1. Asas first-to-file, yang artinya siapa saja mendaftarkan invensinya untuk pertama kalinya di kantor Paten akan mendapatkan hak paten.
  2. Asas first-to-invent, yang artinya hak paten diberikan kepada seseorang yang pertama kali menemukan.

Selain hak paten, dalam UU Hak Paten 2001 diatur pula mengenai hak paten sederhana yang merupakan hak ekslusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai nilai kkegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi/ komponennya. Semua ketentuan yang diatur untuk hak paten dalam UU Hak Paten 2001 berlaku secara mutatis mutandis untuk paten sederhana, kecuali yang secara tegas tidak berkaitan dengan hak paten sederhana.
Berikut adalah contoh hak paten yang ada di Indonesia:

Gesang Lega, 44 Lagunya Dipatenkan
TEMPO Interaktif, Surakarta – Lagu-lagu ciptaan maestro keroncong Indonesia, Gesang Martohartono, kini telah dipatenkan. Sebanyak 44 lagu karyanya sudah mendapat pengakuan hak paten dari Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Kami mematenkan agar tidak ada lagi pihak-pihak yang mengaku-ngaku sebagai pencipta karya Gesang. Hak paten menambah kekuatan hukum karena sekarang ada bukti otentik kepemilikan hak cipta,” kata Hendarmin Susilo, Presiden Direktur Penerbit Musik Pertiwi, yang memegang hak cipta karya Gesang.
Semalam berlangsung peringatan ulang tahun Gesang ke-92. Menurut Hendarmin, setiap lagu yang diumumkan ke publik telah dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Kepemilikannya melekat kepada si pencipta hidup dan 50 tahun setelah kematiannya. Sertifikat hak paten juga tidak menambah durasi hak cipta. “Tapi dari segi hukum, lebih memberi kepastian. Sudah tidak ada celah lagi untuk mengklaim karya Gesang,” tegasnya.
Dia menambahkan, sekitar 1962 lagu Bengawan Solo diklaim orang Malaysia sebagai ciptaannya, dengan judul Mine Cello. Lirik dan judulnya diubah, tapi iramanya sama. Baru pada 1963 diakui Malaysia bahwa Bengawan Solo ciptaan Gesang. “Meskipun setelahnya tidak ada lagi yang mengklaim, kami tetap mengantisipasi dengan hak paten tersebut,” jelasnya.
Dalam sertifikat paten memuat nama pencipta, pemegang hak cipta, jenis ciptaan, judul, kapan pertama kali diumumkan, dan jangka waktu. Sementara dibalik sertifikat tercantum partitur lagu yang dipatenkan.
Proses pendaftaran hak paten membutuhkan waktu. Seperti Bengawan Solo yang didaftarkan pada 23 Mei 2008, baru kelar patennya 31 Agustus 2009. Biayanya pun tidak sedikit, Rp 500ribu per lagu. Gesang mengaku gembira dan lega karya-karyanya sudah dipatenkan. “Terima kasih sudah mematenkan lagu saya,” ujar Gesang yang masih tampak sehat.
Lagu Gesang yang dipatenkan seperti Bengawan Solo  (1940), Jembatan Merah (1943), dan Sebelum Aku Mati (1963). Selain ciptaan Gesang, proses mematenkan lagu karya S. Dis (Butet dan Nasonang Do Hita Nadua), Tilhang Gultom (Sinanggar Tullo), dan Farid Hardja (Ini Rindu).
Hendarmin juga memberikan uang royalti atas penggunaan karya-karya Gesang sebesar Rp 32,8 juta. Ini royalti dari periode Januari-Juli 2009 dalam negeri dan Juli-Desember 2008 untuk luar negeri.


Sumber :


Analisis:
Dalam wacana diatas dapat kita ketahui bahwa ada saja pelanggaran hak cipta karena kurangnya kesadaran pihak-pihak dalam menghargai karya orang lain. Pihak tersebut kurang sadar karena mereka melakukan hal yang tidak bertanggung jawab seperti memalsukan atau mengakui karya orang lain tanpa diketahui oleh pihak yang terkait. Memang dalam kasus ini lagu Bengawan Solo lirik dan judulnya yang diubah, tetapi iramanya tetap saja sama seperti lagu yang aslinya. Kasus ini bisa saja mematikan kreativitas seseorang yang menciptakan karya lagu tersebut. Untung saja ada pihak yang mengurus hak paten pada lagu-lagu milik beliau sehingga lagu-lagu tersebut tidak bisa ditiru oleh orang / pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Sehingga kini beliau bisa menikmati uang dari hasil karyanya tersebut.